Pendidikan berdasarkan ajaran Islam dimulai ketika para pedagang India dari Gujarat tiba di Nusantara pada abad ke-13. Kehadiran awal mereka berawal dari kontak rutin dengan para pedagang di Sumatera dan Jawa. Ajaran Islam pertama kali berkembang di daerah pesisir, sementara agama Hindu tetap kuat di pedalaman. Pendidikan agama Islam pada masa prakolonial berupa mengaji dan mengaji kitab-kitab yang disimpan di rumah-rumah, surah, masjid, pondok pesantren dan tempat-tempat lainnya. Buku-buku ini mengukur tingkat pengetahuan agama.
Pendidikan Islam yang sederhana ini sangat kontras dengan pendidikan Barat yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-17. Dalam perkembangan selanjutnya, bentuk pendidikan Islam berubah menurut lembaga, bahan ajar, metode dan struktur organisasi, sehingga muncul bentuk baru yang disebut madrasah.
Pada awal perkembangan Islam di Indonesia, ajaran Islam dipraktikkan secara penuh dan pada saat itu para da'i membuat siaran-siaran agama Islam kapanpun dan dimanapun dengan cara yang mudah diterima oleh masyarakat. Di hampir setiap desa yang berpenduduk Muslim, dibangun masjid sebagai tempat ibadah dan salat Jumat, serta didirikan surau (di Sumatera Barat) atau langgar di setiap desa untuk pengajian dan pembacaan Al-Qur'an serta sebagai tempat pengajian. sholat lima waktu sehari.. Pendidikan Islam di Langgar bersifat dasar dan dimulai dengan belajar huruf Arab (Hijaiyyah) atau terkadang langsung mengikuti guru meniru apa yang dibaca dari kitab suci Alquran. seorang perwira bernama Amil, Modena atau Lebai. Dia memiliki dua fungsi: selain berdoa pada upacara keluarga atau desa, dia juga bertindak sebagai guru. Tilawatil Quran di kelas Langgar dapat dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu: (1) Tingkat yang lebih rendah, tingkat pemula, diawali dengan literasi yang diselenggarakan di setiap desa (2) selain pelajaran di atas, pada tingkatan atas ditambahkan pelajaran lagu, qasida dan berzanzi, tajwid dan mengaji kitab perukunan.
Membebaskan peserta didik melalui pendidikan: Pentingnya Pemikiran Pedagogik Ki Hadjar Dewantar
Nama Ki Hadjar Dewantara sesuai dengan nama Ahmad Dahlan, Moh.Syafei dan tokoh pendidikan lainnya. Hasbullah menyebut beberapa pendidik, Rohana Kudus, Mohammad Syafei, K.H. Ahmad Dahlan, KH Hasyim Ashar hingga Ki Hadjar Dewantara. Jika kita mengonsepnya, kita dapat menemukan konsep nasionalisme, budaya, gender, dan pelatihan kejuruan. Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dapat mensintesakan konsep budaya dan nasionalisme. nasional dengan perspektif dan arus yang berbeda. Dimulai oleh R.A. Kartin, Raden Dewi Sartika
Ki Hadjar de Dewantara, Ahmad Dahlan dan Moh Syafes menjadi simbol perjuangan pendidikan zaman kolonial. Tujuan pendidikan ketiga tokoh tersebut terkesan lebih pragmatis, yaitu melawan penjajahan dengan tujuan kemerdekaan Indonesia. Mohamad Syafei mendirikan Sekolah Nederlandse Indonesia atau lebih dikenal dengan Sekolah INS Perkebunan di Sumatera Barat. Cita-cita Sjafei adalah membesarkan anak-anak agar mandiri. CH berikutnya. Ahmad Dahlan, yang mendirikan organisasi Islam di Yogyakarta pada tahun 1912 yang berkembang menjadi Sekolah Muhammadiyah. Pendidikan Muhammadiyah menitikberatkan pada pengembangan agama Islam dengan tujuan mewujudkan insan muslim yang berakhlak mulia, cakap, percaya diri dan berguna bagi masyarakat dan negara.
Ki Hadjar Dewantara mengambil pendekatan pragmatis dan mendirikan National Onderwijs Instituut Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Perguruan Tinggi Nasional Taman Siswa menjadikan sebagai titik untuk menanamkan rasa kebangsaan pada siswa sehingga mereka mencintai rakyatnya dan negara dan berjuang untuk kemerdekaan. Ki Hadjar Dewantara adalah pencipta semboyan pendidikan yang kita gunakan saat ini; ing ngarsa sung tulada, ing madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani (di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung dan mengawasi).
Sumber: Muhammad Sabaruddin, "Pola dan Kebijakan Pendidikan Masa Islam Awal Kemerdekaan" Jurnal Tarbiyah, vol 1, no 1, 2021, hal 141-142